Minggu, 23 November 2008

Cerpenku

Tak Menyangka


Aku duduk di antara mereka. Kutatap teman-teman baruku satu per satu. Ada sekitar delapan puluh orang yang kuliah bersamaku. Dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas A dan B. Seminggu, satu bulan, berbulan-bulan, dan akhirnya setahun aku kuliah di sebuah institut swasta di Jogja. Kuperhatikan ada seorang teman baruku, perempuan, yang menurutku ada yang ’berbeda’ dengan temanku yang lain. Tak tahu mengapa ia menarik di mataku. Wajahnya yang bundar, tubuhnya yang kecil, agak pendek, rambutnya yang panjang sebahu terikat dengan pita yang kadang juga dijepit dengan bando. Walaupun kecil, ia agak lincah dan gesit ketika berjalan. Tak lupa kaca mata minus-nya yang tampak membuat diriku kagum. Tak kalah tercengangnya tatkala ia tersenyum. Ya, senyum yang menggoda lelaki yang beranjak dewasa, dan lelaki yang baru mengenal indahnya rupa. Yang membuatku senantiasa ingat saat ia menyapa dengan ramahnya. Ya, sapaan itu yang mengajariku untuk menyukainya. Dia sering menyapa dulu, menyebut tanpa sapaan ”Mas”. Wajarlah, kami di kampus memang terbiasa menyebut nama tanpa sapaan ”Mas” atau ”Mbak”.
Waktu terus berjalan, perasaan di hati juga perlahan mengikuti sang waktu. Kuperhatikan lagi parasnya. Ya, di antara teman-temannya, menurutku ia lebih bersih, lebih bersinar. Selidik demi selidik kulakukan untuk memastikan siapa, bagaimana, dan di mana teman baruku tinggal, yang membuatku tergoda, ada rasa suka untuk berbagi cerita. Kulihat data kartu anggota perpustakaan di kampus, kutanya kepada teman-temannya. Dan, akhirnya,................ ketemu. Namanya agak panjang terdiri tiga kata, tapi ia senang dipanggil Tatik. Mudah sekali mengingatnya ”Tatik”. Saya juga memanggilnya ”Tatik” atau sering pula memanggilnya ”Tik”. Ia bungsu dari tiga bersaudara. Yang sulung laki-laki sudah lulus dari UNS, yang nomor dua perempuan sudah berkeluarga. Sedangkan ibunya seorang penilik sekolah dasar, orang kampung sering menyebut ”Bu Nilik?”. Ayahnya, seorang guru SD namun ketika Tatik masih kecil, sang ayah meninggal, katanya sakit jantung. Tatik tumbuh bersama ibu dan kakak-kakaknya. Di Jogja, ia tinggal di rumahnya sendiri di daerah Mantrijeron.
Kalau aku melihat diriku. Menurut penilaianku, wajahku juga cukup lumayan. Ketika masih SD, tetanggaku sering menyebut anak yang pendiam, malahan aku juga melihat sifatku ada rasa takut dan juga malu. Perasaan itulah yang terbawa sampai aku di bangku kuliah. Mungkin itu gara-gara aku terlahir sulung dan agaknya ayahku punya sifat keras. Ayahku, seorang guru sekolah dasar. Pernah ketika aku bersama teman bermain di kedhung (sungai yang dalam), ayah memarahiku dan memukulku dengan sebilah bambu. Saat yang lain, waktu aku mau ujian sekolah dasar, ayah juga melarang untuk bermain. Setelah aku besar, aku baru ingat mungkin ayahku berharap banyak dan menumpahkan segala cita-citanya padaku. Aku memang takut dan juga segan pada sang ayah. Rasa takut inilah yang kadang dan sering terbawa ketika aku beranjak remaja dan kadang juga takut untuk mendekati teman perempuan.
Seperti saat ini, saat aku mengenal perempuan bernama Tatik. Aku takut melangkah, jangan-jangan ia mencibir, mengolok-olok, bahkan menolakku mentah-mentah. Ada perguncangan dan pergulatan serta gejolak dalam diriku. Hati menyuruhku untuk segera berkata, tapi bibir tak kuasa untuk menyuarakan rasa. Terpendam, masih terpendam, dan senantiasa dalam lamunan yang tak berujung. Kucoba untuk menghilangkan perasaan itu, namun sekali lagi muncullah bayangannya yang berkelebat menghiasi hati. Suatu ketika untuk menuruti hati yang menggebu, kuberanikan diriku untuk ke rumahnya. Apa yang terjadi, sesampai di depan rumahnya, aku tak berani untuk mengetuk pintu, akhirnya aku pulang dengan hati yang serba penasaran.
”Harto?”, ”hallo?” kata Tatik suatu saat kepadaku. Aku tersenyum, dan balik bertanya ”Tatik?”, hanya itu yang bisa kuucapkan. Kubarengi saat ia pulang dari kampus dan kutemani saat ia menunggu bus. Ia senang dan selalu naik ”Kobutri” warna kuning, menurutku kendaraan itu yang sejalur dengan rumahnya.
Setelah kurang lebih lima tahun, akhirnya kami sama-sama hampir lulus. Kucoba untuk mengobati hati agar tak selamanya mengganjal dan menghadang dalam setiap langkah dan jalanku. Aku tak berani mengatakan yang sebenarnya. Aku mencoba dengan cara yang lain. Kuambil kertas berwarna, kutulis serapi mungkin, dan kuberi percikan parfum, lalu kutitipkan kepada seorang sahabatku. Ya, aku menulis surat cinta kepadanya, kepada orang yang selama ini menghiasi pikiranku, legalah hati. Aku sudah bertekad, pahit dan manis jawabannya, aku tak takut, aku tak gentar. Mendadak aku jadi pemberani layaknya seorang tentara yang akan maju perang.
Hari demi hari dalam penantian. Kutunggu apa yang telah kutulis. Tanpa sengaja, aku bertemu dengannya. Aku mencoba mendekati dan bertanya ”Cari apa, Tik?” kataku. ”Oh, Harto?”. ”Ini aku cari buku untuk acuan skripsi” katanya dengan nada seperti biasanya. Ramah dan menawan, menurutku. Perasaanku menjadi serba salah, serba kikuk, serba bimbang, serba bingung. Sedangkan ia biasa-biasa saja seperti biasanya. Ini pertanda simpatiku padanya tak diterima. Sepulang dari pertemuanku dengan si dia, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur, di kostku yang tak jauh dari kampus. Aku merasa lemas, lunglai tak ada hasrat untuk melakukan sesuatu. ”Aku malu pada diriku, hancur hatiku, dunia seakan terasa gelap gulita, tanpa pelita, ya gelap sekali?”, pikirku.
Akhirnya , kucoba tabahkan hati, kucoba renungi diri. Di matanya mungkin aku tiada arti, tak berkesan. Aku bertanya dalam hati, “Mengapa ia selama ini ramah dan ringan bicara padaku? Tapi...., “mengapa ia tak mau membalas isi suratku?. “Apakah aku yang ge-er, tidak berkaca diri?”, gumamku dalam hati. Ataukah ia mungkin hanya menganggap sebagai teman biasa?. Aku tak tahu..........., aku tak bisa menjawab....... .

Tidak ada komentar: